Cerita soal Profesor Admi Syarif, Phd, saya tak kaget lagi, karena sebagai teman dekat, yang sering tidur di kamarnya, walau saya tidur di kasur, sang profesor rela tidur di lantai, begitu baiknya dia sebagai teman.
Sejak Tahun 83, saya sudah sekelas dengan sang profesor, di kelas 1 IPA 1 SMAN 2 Tanjung Karang, yang saat itu saya yang ada di kelas 1-4, bisa melompat ke 1IPA 1, yang katanya kelas ekslusif karena muridnya pintar-pintar.
Dikelas 1 IPA-1, saya mengenal Admi Syarif, orangnya ‘slonong boy”, tidak ganteng amat dan tidak meyakinkan, karena “kelebihan”nya ini lah saya jadi begitu akrab dan sehati, soulmete – lah, Karena kondisi yang tak berjarak ini kami selalu bersama selama 3 tahun, menjadi sahabat hingga III IPA 1.
Dikelas Kami merasa paling berbeda, tidak seperti siswa yang lain, yang saat istirahatpun tak keluar kelas, tak lepas dari buku, agar jangan ter eliminasi ke kelas yang lebih “rendah” saat kenaikan kelas.
Saya, Admi, Jonggi dan Gandhi, bagian dari siswa siswa yang berbeda, di bandingkan Johnson, Ali, Maria, Wan Minfang…dan kawan kawan yang lain yang terus menjadi kutu buku, di bandingkan dengan Kami yang jadi Kutu Kantin, yang masih tetap di kantin, saat jam belajar.
Saat itu kalau yang lain adalah siswa siswa eksklusif, Kami hanyalah siswa marjinal, yang tidak di perhitungkan.
Kalaupun saat itu bagi sebagian besar penghuni IPA 1, BOLOS adalah hal “HARAM” dan harus di jauhi, untuk Kami tidak, keluar di jam belajar adalah hal biasa karena masa SMA adalah masa TERINDAH yang dilalui.
Karena Kami berbeda, maka Kami sering tidak diperhitungkan, diperhitungkan dalam nilai dan prestasi, dan yang jelas ranking Kami pastilah yang terbawah.
Mengapa Kami tahu Kami tidak di perhitungkan ? Menjelang ujian akhir dan ujian Nasional di tahun 1985, anak anak kelas III IPA 1 kian gencar belajar, mereka berusaha mengejar RANKING dan JUARA KELAS, kelas selalu sepi baik jam belajar, maupun jam Istirahat.
Di Jam istirahat, gerombolan siswa siswa pintar berkumpul, seperti ada yang di diskusikan, sambil nenulis di secarik kertas, ada Maria, ada Minfang, Ada Johnson dan kawan kawan yang lain, yang rankingnya, ranking ranking teratas.
Melihat demikian, Admi yang biasa di panggil Jidat atau profesor, mencoba mendekat, perlahan lahan, dan kemudian merebut kertas yang berada di salah satu Siswa.
Setelah berhasil merebut, Kami para kaum marjinal membaca nama nama, yang sudah di prediksi bakal menjadi Ranking pertama hasil ujian akhir, ternyata nama Admi syarif dan Saya ada di deretan paling bawah, dengan hasil “survey” tersebut, bukannya Kami kecil hati dan marah, timbul semangat untuk “mementahkan” prediksi kawan kawan ekslusif, dengan cara belajar bersama di rumah ADMI, menghadapi ujian akhir.
Walau Admi Syarif lebih banyak ngajari matematika, daripada belajar bersama.
Hasil ujian akhir, akhirnya keluar, target hanya untuk RANKING JUARA KELAS ternyata TERLAMPAUI…teman saya ADMI JIDAT ternyata mendapat NILAI TERTINGGI HASIL UJIAN NASIONAL untuk SELURUH LAMPUNG.
Dua tahun lalu GELAR PROFESOR diraihnya, Selamat ya Sahabatku Admi Syarif atas Pencapaian jenjang akademik Guru Besar pada bidang “KECERDASAN BUATAN” Universitas Lampung, Selamat untuk Bapak Prof.Admi Syarif.Phd, Semoga berkah dan ilmu yang diperoleh berguna untuk kemashalahatan ummat, dan semoga suatu saat nanti dapat menempati tempat tertinggi di Universitas Lampung, untuk menjadi REKTOR UNILA…aamiin..
Selamat buat sahabat: Prof. Admi Syarif, PhD
Sahabatmu : Syahril Hannan