Seminggu yang lalu, saya menerima sebuah kabar duka melalui sebuah pesan WA dari Kang Asep. “Bang Admi, abah pagi tadi meninggak dunia dan akan dimakamkan seusai sholat Jum’at”, ujarnya. Saya sangat kaget, namun karena pagi itu saya sedang di luar kota, saya segera meminta untuk dikirimkan karangan bunga.
“Punten kang, abdi ayeuna tek di Lampung. Engke lamun teus balik, abdi kaditu”, ujarku. Saya sengaja hadir pada saat takziah malam yang ke-tujuh dan luar biasa ramai sekali tamu yang hadir bertakziah. Sebagai penceramah malam itu adalah sahabat karib saya, Ustad Dr. Anas Hidayatulah. baca sampai habis ya.
Pak Haji Muhlisin, merupakan tokoh dan ulama yang sangat dikenal di kampung baru, belakang Unila. Abah, demikian saya memanggilnya, adalah lurah selama 35 tahun. Ia wafat saat berusia 104 tahun.
Masih teringat cerita beliau kepada saya, tentang berdirinya Unila dan kos-kosan pertama miliknya. Waktu itu, tahun 1974, terjadi peristiwa yang sangat besar pengaruhnya bagi warga Kelurahan Kedaton dan Kampung Baru, dimana lahan yang tadinya kebun kopi dan kelapa itu akan dijadikan lahan pembangunan pendirian kampus Universitas Lampung.
Sebagai lurah Kampung Baru pada saat itu, ia berkomunikasi dengan beberapa pejabat daerah dan pemimpin Unila membicarakan mengenai berbagai hal terutama pembebasan lahan. Lahan yang digunakan Kampus Unila awalnya berada pada dua administrasi kelurahan, yaitu Kelurahan Gedung Meneng dan Kelurahan Kampung Baru, batasnya kalau dilihat dari sekarang itu adalah Pos Satpam bunderan Unila.
Dari titik itu sampe ke depan, gang kopi termasuk kolam renang Unila itu punya orang gedung meneng, sedangkan dari titik pos satpam kebelakang sampai ke permukiman warga kampung baru, tanahnya milik orang kampung baru. Pada saat itu tanah orang kampung baru yang paling luas milik Bapak Santari dengan luas lahan 3 Hektar dengan milik bapak Rasmin dengan luas 1 Hektar.
Jumlah penduduk Kelurahan Kampung Baru pada tahun 1974 sebanyak 13 KK yang hampir keseluruhannya adalah warga pendatang dari Kota Cilegon Banten. Di tempat awalnya mereka itu bekerja sebagai tukang pembuat gula kelapa, dan ketika sudah di sini pun tetap menjadi tukang pembuat gula kelapa.
Nasib baik kami rupanya datang pada tahun 1974 ketika Unila akan mendirikan kampus di sekitaran tanah di wilayah kami. Maka ketika Unila meminta pembebasan lahan dari warga kelurahan untuk di jadikan kampus, kami dengan terbuka memberikannya.
Pada saat itu harga pembebasan lahan sekitar 175 rupiah permeter dan sebagai ketua pembebasan lahan dari Unila Bapak Achmad Fabil. Ketika rencana pembebasan lahan itu akan di laksanakan, saya memohon kepada pihak Unila agar tidak melupakan warga Kelurahan Kampung Baru. Saya meminta kepada pihak Unila walaupun warga kami tidak bisa menjadi mahasiswa, akan tetapi Unila dapat memanfaatkan warga kelurahan kampung baru untuk menjadi pegawai di Unila, pegawai apa saja, menjadi Satpam, Cleaning Servis, atau apa saja yang bisa dikerjakan.
��Teringat saya pada saat proyek sudah mulai berjalan, pada saat itu rektor Unila Bapak Profesor Sitanala Arsyad berulang – ulang menyarankan kepadanya agar membuat kamar untuk kebutuhan penginapan mahasiswa. Saran itupun saya laksanakan, maka pada tahun 1976 saya membuat kamar untuk penginapan mahasiswa sebanyak 4 buah kamar. Struktur kamar sangat sederhana, hanya terbuat dari pondasi batu putih, pasir, bata, dan tidak pake semen. Saya sewakan perkamar 60 rupiah pertahun sehingga total 4 kamar menjadi 240 rupiah pertahun.
Bisnis ini berjalan lancar karena Unila juga terus berkembang, sehingga pada tahun 1988 jumlah kamar yang saya sewakan meningkat drastis menjadi 33 kamar. Langkah saya pun banyak yang mengikuti, sehingga warga kampung baru lainnya turut merasakan manfaatnya akan keberadaan Unila. Sekarang tidak ada warga kampung baru yang tidak punya duit. Warga yang punya kamar jelas dia dapat duit dari sewa kamar, yang tidak punya kamar bisa jadi calo orang yang mempunyai kamar, bahkan yang tidak punya kamar dan tidak jadi calopun bisa berjualan apa saja untuk mendapatkan duit. Oleh karena itu saya katakan Kalau ada orang Kampung Baru yang tidak ngeliwet 2 hari itu bodoh namanya.
Sekarang tidak ada lagi warga kampung baru yang jadi tukang gula kelapa, mereka sudah jadi mahasiswa Unila, pegawai Unila, pebisnis kontrakan, atau penjual segala kebutuhan mahasiswa. Maka akhirnya ia mengatakan berkat Unila warga kelurahan kampung baru terangkat derajatnya.
KIta memang patut bersedih, meski tak harus berurai air mata. Selamat jalan, Inshaallah syurga menjadi balasan buat abah.