EXIST JAMBI NEWS.COM, JAMBI Pengamat politik sekaligus aktivis Jambi, Nazli, menilai kemunculan kembali Zumi Zola di ruang publik harus dibaca secara kritis oleh masyarakat. Menurutnya, perjalanan Zola adalah contoh bagaimana karier politik tidak hanya ditentukan oleh popularitas, tetapi juga integritas.

Nazli mengingatkan bahwa Zola pernah muncul sebagai sosok muda yang menjanjikan. Ia sukses meniti jalan dari dunia hiburan ke panggung politik, apalagi dengan modal sosial sebagai putra dari gubernur dua periode. “Zola itu sempat menjadi harapan. Terpilih sebagai bupati tahun 2011, lalu naik menjadi gubernur Jambi periode 2016–2021, kariernya waktu itu terlihat cerah,” ujar Nazli.

Namun, lanjutnya, semua itu runtuh ketika Zola terbukti terjerat kasus korupsi. Ia menerima gratifikasi dan memberi suap kepada anggota DPRD Jambi dalam proses pengesahan RAPBD. “Vonis enam tahun penjara, denda, dan pencabutan hak politik lima tahun setelah bebas adalah konsekuensi serius. Itu bukan sekadar catatan hitam, tapi bekas luka yang masih diingat publik,” tegasnya.

Nazli juga menyinggung soal sinyal comeback politik yang belakangan ramai diperbincangkan, terutama setelah Zola hadir di kegiatan sosial pembagian sembako bersama PAN. Menurutnya, langkah tersebut jelas memicu spekulasi publik, tetapi belum bisa dibaca sebagai bukti kembalinya dukungan politik. “Bagi-bagi sembako bisa membangun citra, tapi belum tentu mengembalikan legitimasi. Publik tidak mudah melupakan kasus korupsi,” katanya.

Ia menegaskan, bebas secara hukum tidak otomatis menghapus keraguan moral masyarakat. “Ada jarak besar antara status hukum dan status moral. Hukum bisa memberi ruang kembali, tapi publik punya memori dan standar etika sendiri,” jelas Nazli.

Nazli mengingatkan partai politik maupun elite lokal untuk berhitung matang jika hendak memberi ruang pada Zola. Risiko reputasi sangat besar, apalagi lawan politik pasti akan menggunakan masa lalunya sebagai serangan. “Publik Jambi harus kritis. Jangan sampai kita memberi ruang hanya karena formalitas, sementara rekonsiliasi moral tidak pernah ada,” tambahnya.

Menurutnya, jika Zola benar-benar ingin kembali ke panggung politik, ia harus berani tampil dengan permintaan maaf tulus, keterbukaan soal kesalahan, serta langkah nyata memperbaiki. “Kalau hanya datang dengan sembako dan senyum, itu bukan pulih, tapi mengulang kesalahan lama. Musuh terbesar comeback semacam ini bukan lawan politik, melainkan lupa publik dan standar etika yang dibiarkan longgar,” tutup Nazli. (NET)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini