Oleh: Prof. Admi Syarif, PhD
Dosen Unila dan Tukang tulis

Selamat pagi sahabatku semua. Pagi ini, saya berbagi cerita menarik yang mungkin bisa membuat kita tersenyum dan bernostalgia! 😊
Cerita kali ini adalah tentang Limun, minuman legendaris dari bumi Lampung. Masa ketika kita belum mengenal Sprite, Coca Cola, Fanta dsb, limun adalah soft drink sesungguhnya.

Bagi yang pernah tinggal di Lampung di era 70-80an, pasti tahu bagaimana nikmatnya minuman yang satu ini. Ada tiga jenis yang paling terkenal saat itu: limun Merah, limun Kuning, dan Sarsaparilla. Kalau lo
pada masih ingat ini semua, berarti lo sudah masuk kategori “Tua” ya, he he he! Tapi don’t worry bro-sis, yang tua itu pasti keren.

Saat saya masih SD, di SD Sidoharjo pada sekitar akhir tahun 70-an, limun memanglah minuman juara.
Ketika itu, saya tinggal di daerah DePasKo (Depan Pasar Koga), yang juga dikenal dengan sebutan Gg. Gunung Sulah. Kalau di situ, warung jajan depan rumah adalah tempat favorit buat beli limun. Sepertinya, nggak ada yang bisa ngalahin kenikmatan limun dingin di tengah panasnya udara Lampung! Saya masih ingat, saat sering banget beli limun di warung. Dan yang paling unik saat itu, kalau beli limun, botolnya harus dikembalikan. 🤣

Ayah saya? Nah, beliau bukan penggemar Limun Kuning. Beliau lebih suka Sarsaparilla—katanya itu lebih “mantap” gitu. Tapi, ada satu hal yang sama: beliau nggak pernah minum limun tanpa es! Dulu, es balok dipotong-potong pakai golok, guys! Kalau belum kena golok, itu bukan es namanya! 😆Buat ayahanda, limun juga dipakai untuk obat masuk angin he he he.

Ketika lebaran, kalau ada rumah yang menyajikan limun, itu berarti rumah orang kaya! Kenapa? Karena nggak semua orang mampu beli limun! Kami berkeliling , kalau beruntung, biasanya juga dapat uang koin Rp.100,-. Wah, itu udah kaya dapet jackpot! 🤣

Ah, saya juga nggak bisa lupa dengan pabrik Limun yang dulu ada di kawasan Bukit Simpur (Jl. Brigjen Katamso, Bandar lamoung). Setiap kali berjalan kaki sepulang sekolah (SMAN 2 Tanjung Karang, tahun 1985) kami biasa melintasi pabrik limun tersebut. Saya masih ingat, dekat situ ada pabrik es balok juga. Kita juga dapat menjumpai beberapa pedagang burung disekitarnya. Ah semuanya sekarang cuma tinggal kenangan. Tapi, kalau ada yang tanya, “Kemana limun sekarang?” Jawabannya jelas: Tanyakan saja pada rumput yang bergoyang! 😋

Seingat saya, sekitar tahun 1990-an, pabrik Limun Metro dan pabrik es balok di Simpur sudah nggak ada. Kemudian di sana ada Supermarket King, Lorong King, dan Tanjung Karang Plaza. Di sana juga ada Mie Ayam Awie yang terkenal dan selalu laris diserbu orang! 🐔

Cerita limun di kampung saya, di daerah Tulang Bawang, bahkan lebih fantastis. Saat acara bujang gadis, biasanya para pemuda akan berlomba memberikan hadiah limun kepada gadis pilihannya. Bayangkan, para cowok-cowok yang rela antre panjang cuma untuk membelikan limun buat pacarnya! He he he bisa dibilang saat itu, limun bukan cuma sekedar minuman, tapi juga simbol cinta! 💕.

Sekarang, Bandar Lampung telah menjadi kota yang lebih modern dan maju. Semoga cerita kenangan tentang limun ini tetap abadi. Mungkin nggak ya , suatu hari kita bisa ngumpul dan nostalgia, sambil minum limun dengan judul “rasa masa kecil.”

⸻Photo: Limun (Sumber sebuah WA grup), sebagai pemanis

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini